Minggu, 20 Oktober 2013

Terimakasih Daun

Prosa.

Aku duduk seorang diri di pantai, suara ombak-ombak bergantian saling menyahut sehingga menimbulkan nyanyian indah tanpa dusta, warna langit menjadi gelap, matahari mulai meninngalkan manusia yang ramai, kepalaku mengarah kekiri dan melihat segorombolan manusia yang berkumpul sambil meminum kopi dan tak lupa rokok, mereka tertawa terbahak-bahak seakan-akan tidak ada kesedihan yang menghampiri mereka, mereka adalah teman-teman satu komunitasku, komunitas yang memperjuangkan kebebasan hidup, tidak ada aturan, dan tidak ada penjara.
Dalam kebisuan, aku bingung dengan keadaanku sekarang, dulu aku begitu terobsesi dengan mereka, aku menginginkan aku bagian dari mereka, selang beberapa tahun bersama mereka, kejenuhan mendatangiku dan sangat mendzolimiku, aku ingin keluar dari ini, kebebasan yang aku perjuangkan dengan mereka tak ada hasil. Mereka lebih mempopulerkan jargon mereka yang berbunyi : “KEBEBASAN MILIK KITA, TAK ADA PENJARA DALAM HIDUP” mereka menafikan siapa saja yang menghalangi keinginan meraka, termasuk Tuhan dan  orang tua mereka sendiri.
Aku mengambil sebatang rokok dari saku celanaku dan menghidupkannya dengan korek gas yang aku baru beli beberapa jam yang lala, biasa kalo udah di pake bareng-bareng aja ada curanrek (pencurian korek) he . Kuhisap perlahan rokokku dan menhembuskannya dengan kepala agak sedikit menganngkat keatas, mataku terarah kesebuah daun yang tertiup angin, terbang hulu-hilir dan tanpa arah dan tujuan yang jelas. mataku begitu sangat jeli mengikuti arah kemana daun itu akan jatuh. Lalu aku teringat pada dua orang sosok yang begitu mencintaiku tanpa pamrih, mereka mengerti apa yang aku inginkan, fasilitas yang aku butuhkan mereka berikan. Batinku pun tersiksa, aku sering sekali membuat mereka menangis karna kenakalanku, karna tak pernahnya aku dengar yang mereka katakan, karna tak pernahnya aku melakukan apa yang mereka perintahkan, karna.. banyak sekali kesalahan yang seakan-akan aku mencoreng wajah mereka berdua dengan arang hitam. Maafkan aku papa….. maafkan aku mama …..maaf.
Bantinkupun makin tersiksa dan menjerit begitu kuatnya, cukuplah bagiku untuk menahan dan melunturkan sakit ini tanpa jejak.
Dalam hati kecilku berbisik dengan egoisnya…
“ANJING,,,,
“bukan seperti ini, ini tidak akan merubah apa-apa kalau aku hanya mengingat dan meminta maaf dari kejauhan.
“aku pun ingin tau kabar mereka, Sudah bertahun-tahun aku tak pulang kerumah dan menemui mereka.
“Aku harus pulang, tapi aku takut dan malu.
“Akh… apapun konsikuensinya aku harus pulang.
Tanpa pikir panjang lagi akupun berdiri dan meranjak untuk pulang, tak lupa aku  sapa teman-temanku…
setelah aku sapa dan salam temanku, akupun berbalik badan dan berlari ke tempat daun yang jatuh tadi dengan membawa jaket lusuh di pundakku, tiba di depan daun aku langsung duduk, tangan ku mengelus tubuh daun sambil mulutku berucap, Terimakasih daun, aku mengerti bahwa engkau ada sebagai syari’at, Tuhan adalah hakikat sungguh aku ingin kembali ke jalan-Mu yang lurus.
Tuhan Engkau adalah bagian dariku, tak pernah ku pikirkan betapa Engkau mencintaiku, hanya saja keluputanku sebagai manusia begitu mencekik batin. Sampai saat itu aku kembali dan hilang dari peradaban dunia, aku akan menemui-Mu lewat jalan yang Kau arahkan.

                                         Muhammad Amiruddin.

0 komentar: