Minggu, 20 Oktober 2013

Bertauhid artinya meniadakan apapun kecuali satu. secara etimologis bahwa bertauhid adalah meng”esa”kan dengan maksud Objeknya adalah Tuhan, dan Tuhan merupakan Subject sekaligus Object bagi manusia, berdasarkan salah satu konsep Islam yaitu “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun” sesungguhnya kita bersal dari Allah dan kembali kepada Allah. Tuhan adalah otoritas tertinggi dalam segala hal. “La ilah illa Allah” tiada Tuhan selian Allah. meniadakan Tuhan selain dari pada Allah adalah ungkapan yang egois, namun bagi manusia yang memahami Tauhid secara mutlak adalah hal yang memang pantas untuk diucapkan.
Dalam pandangan para Teolog, Tauhid adalah mengesakan Allah. Sehingga engkau dapat berkata, “Dia adalah satu dalam dzat-Nya, tidak memiliki Tandingan, satu dalam perbuatan-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya, satu dalam sifat-sifat-Nya tanpa ada yang menyerupai-Nya”.
Berserah diri kepada Allah adalah hal yang wajar dan harus dilakukan, “Tuhan yang mengusai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhlah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
Sesungguhnya kalimat “laa ilaha illa Allah” (tayyibah) merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Artinya kalimat tayyibah sendiri memiliki konsekuensi bagi siapa saja memegangnya. Karena sudah seharusnya setiap kebebasan memiliki dampak bagi mereka yang menganut kebebasan tersebut, terlepas dari dampak baik atau buruk yang dihasilkan, prof. Amin Rais mengatakan dalam bukunya yang berjudul Cakrawala Islam; “tahrirun nas min ibadatil ibad ila ibadatillah (membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah semata)”sebagai dampak dari pada Iman. Bila ditelaah secara mendalam, ungkapan diatas bermakna Tauhid sebagai pembebasan terhadap konstruk sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, bahkan lebih jauh lagi menyingkirkan segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.
sejalan dengan ini Nur Cholis Madjid berpendapat bahwa bentuk dari pembebasan yang dimaksud adalah apa saja yang mampu membawa manusia dari berbagai belenggu zaman modern. Misal, kehadiran Islam di Afrika hitam membawa kebebasan yang memang menjadi kebutuhan rakyat benua yang tertindas dari bangsa-bangsa barat.
Sebelum itu semua, penulis merasa membangun konsepsi umat  terlebih dahulu tentang apa itu Tauhid, merupakan prioritas. Pada dasarnya manusia benar-benar paham bahwa “Tauhid tidak mempertentangkan antara dunia dan akhirat, antara yang alami dan yang adialami, antara yang imanen dan transenden, antara jiwa dan raga, dan lain sebagainya”. Namun begitu, dikarenakan manusia selalu berkembang, konspesi Tauhid yang telah dibangun seperti diatas bergeser seiring dengan perkembangan social. Pergeseran- pergeseran seperti itulah yang  membuat auhid lari dari kemurnian hakikat tauhid itu sendiri, setidaknya dalam konsepsi umat. Untuk mengembalikan konsepsi umat kepada tempatnya, umat memerlukan atribut-atribut penting, seperti :
 pertama, memiliki komitmen utuh terhadap Tuhannya. Kedua, ia menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Tuhan. Ketiga, ia bersikap progresif terhadap kualitas kehidupannya, dan segala realita yang bersinggungan dengannya. Keempat, memiliki tujuan hidup yang jelas. Kelima, memiliki visualisasi yang jelas terhadap kehidupan yang harus dibangun bersama manusia lain.
Dengan begitu, akan muncul suatu semangat tauhid yang tergambarkan dalam kehidupan social dan individu. Semangat tauhid itu berupa penilaian yang kritis serta pengambilan intisari/kesimpulan yang cukup adil, dalam artian iman yang dihasilkan dari atribut-atribut diatas senantiasa memiliki kecendrungan suprarasional di wilayah yang rasional atau sebaliknya. Semangat ini pun akan tercermin dalam kehidupan social seperti terwujudnya inklusivisme dan berangsur-angsur akan meredam ekslusivitas umat. Yang puncaknya adalah unity of godhead (kesatuan ketuhanan).

0 komentar: